This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 28 Mei 2012

MOPDIK

Minggu, 27 Mei 2012

HIGH SCHOOL DISASTER


 (CHAPTER 7)

Story by Sierra
Soundtrack : Blackout by Breathe Carolina

Hari ini nggak kaya biasanya gue berangkat sekolah bareng Rheam. Eits tunggu-tunggu, jangan mikir kalau gue sama Rheam udah baikan ya. No, noway, never! Kata Rheam, karna gue udah jadi budaknya, jadi gue harus selalu siap sedia kapan pun juga. Udah kaya raja aja dia. Tapi mau gimana lagi, terpaksa atau nggak, tetep aja gue harus nurut.
Selain itu yang menurut gue bada dari biasanya.Saat gue melirik ke bagian leher Rheam, ia mengenakan syal yang gue liat kemaren di kamarnya. Gue benci mengakuinya, tapi syal itu nampak pas sekali dipakainya. Menang sih hari ini sedikit lebih dingin dari biasanya. Namun melihat benda berharga yang selama ini dijaganya baik-baik dikenakannya membuat gue sedikit surprise. Oya, mungkin ada yang bertanya-tanya dari mana gue tahu syal itu merupakan benda berharga bagi Rheam. Syal itu diletakkan di deretan barang antik miliknya dan dilipat dengan rapi diatas meja seakan tak pernah tersentuh hingga sekian lama alih-alih menggantungnya dalam lemari. Ujung syal itu juga memiliki inisial nama. Dua inisial nama yang sengaja dibuat seseorang. Sudah pasti syal itu memiliki arti spesial baginya.
Sampai di sekolah beberapa orang sempat melirik saat Rheam keluar dari mobil bersama gue. Sepertinya mereka penasaran kenapa gue sampai biasa berangkat sekolah bareng Rheam. Tapi Rheam kelihatan cuek saja ketika semua mata memandang kearahnya. Buru-buru gue ambil tas lalu bergeras pergi sebelum Rheam berulah lagi pagi ini. Namun terlambat, terdengar nama gue dipanggil dari belakang.
“Bawakan tas gue ke kelas. Gue mau langsung ke ruang OSIS, bisa kan?”
Tuh kan, lagi-lagi. Kena gue pagi ini.
Tanpa menjawab, langsung gue rengut tas Rheam dan berjalan ke kelasnya.
Sesampainya di kelas, gue merasa ragu untuk masuk. Bukan karna gue nggak tahu tempat duduk Rheam. Gue tahu dimana Rheam duduk saat sekali mengintipnya sehabis mengantar Lyoid ke ruang kepala sekolah. Tempat duduknya terletak persis dipinggir jendela. Namun rasanya aneh aja masuk ke kelas orang lain jika tak ada yang dikenal disana. Terlebih lagi kelas senior!
Hufff, dengen menarik nafas panjang gue putusin masuk ke kelas Rheam dengan tenang. Tenang, nggak ada yang merhatiin. Tinggal jalan aja ke kursi Rheam beberapa meter, taruh tasnya di meja, lalu pergi dan semuanya selesai. Mudah banget kan? Nggak mudah, semua mata saat ini memandang gue. Why???
Kenapa mereka semua liatin gue kaya maling gitu sih? Sialan, gue kira bakal mudah ngelakuin hal ini. Buru-buru gue letakin tuh tas sial ke mejanya dan dengan menahan malu keluar dari kelas secepatnya. Lain kali kalau disuruh masuk ke kelas Rheam gue mau pakai topeng aja. Sampai dikelas akhirnya gue baru bisa tenang.
“Lo nggak apa-apa, lun?” tanya Marin disebelah.
“Nggak, gue nggak apa-apa kok.” Kata gue sambil lepasin tas dari cangklongan dan menaruhnya diatas meja.
“Ohh, tumben lo cepet banget sampenya. Biasanya mepet jam lo baru datang.”
“Tadi gue sama Rheam, makanya cepet.” Nggak ada yang denger gue sebut nama Rheam kan?
“Elo sama Rheam? Kok bisa?” balas Marin berbisik.
“Bisa lah. Orang gue budaknya.
Nggak tau kenapa gue ngerasa ada yang merhatiin. Saat gue ngelirik ke samping, pandangan gue beradu dengan Lyoid
Dug dug dug.. jantung gue mulai berdetak keras lagi. Luca yang duduk disebelah Lyoid memerhatikan kami yang sedang bertatapan.
“Hai, met pagi.” sapa gue.
“Selamat pagi/Met pagi juga, Luna” balas Lyoid dan Luca hampir bersamaan. Gue tersenyum dan mengalihkan pandangan ke Marin. Marin menyenggol lengan gue tanda ada apa-apa. Dari ekspresinya bisa  dibaca dia sedang mencoba lagi menggoda gue.
“Marin apaan sih.” bisik gue.
“Gimana kenacannya kemarin sama si malaikat?” balasnya sambil berbisik dan melirik ke arah Lyoid berada.
“Bukan kencan dan jangan tanya sekarang. Nggak liat apa dia ada disebelah. Kalau ketahuan gimana?!” seru gue panik.
“Tapi janji nanti cerita ya?”
“Nggak janji. Gue ceritain nanti.”
“Janji? Atau gue bilangin nih..”
“Apaan sih. Bilangin ke siapa? Pokoknya gue nggak janji.”
“Bilangin ke Lyoid lo suka sama di—umphh”
Buru-buru mulutnya Marin gue tutup dengan tangan sebelum suaranya mengeras dan dapat di dengar orang lain. Tapi justru tindakan gue mengundang Lyoid dan Luca yang duduk di sebang bangku jadi penasaran. Sial. Gara-gara Marin nih. Batin gue.
“Iya-iya nanti gue cerita asal lo bisa diem.” bisik gue
“Sip”
--
Jam istirahat.. yuhuuu!! Sebelum Marin bisa mencegah gue untuk bercerita lebih banyak, hal paling bijak sana adalah kabur sebelum dilihat. Hehe.. Secepat kilat gue keluar kelas dan nggak tau harus kemana. Bukannya gue males cerita ke Marin yang udah jadi sohib gue sejak lama. Tapi gue malu ceritain ke jadian kemarin. Masa gue harus cerita masuk ke aparteman Lyoid lalu ngeliat dia setengah telanjang. Nggak lucu banget kan?
Jadi pertanyaannya, kemana sekarang gue harus pergi? Setelah setahun menimang-nimang kemana arah hidup gue akan menuju ups, maksudnya kemana arah kaki gue akan melangkah dan tidak juga mendapat ide, gue putusin mengikuti kemana saja kaki akan membawa gue bersamanya. Berjalan beberapa langkah di koridor, tubuh gue nubruk seseorang.
Aroma cemara langsung tercium saat hidung gue bersentuhan dengan kemeja orang itu. Jelas dia seorang cowok karna memiliki dada yang datar dan tubuh yang lebih tinggi dari gue. Aroma cemara yang yang gue hirup mengingatkan gue dengan aroma khas yang tak asing gue jumpai bila berada didekat seseorang. Sayangnya orang tersebut bukan orang yang sangat ingin gue jumpai saat ini. Melainkan orang yang sebisa mungkin harus gue hindarin. Rheam!
Tak butuh berapa lama untuk mendongakkan wajah dan melihat ke bola matanya. Tapi sial, dari jarak sedekat ini, memandang Rheam jadi tampak berbeda. Mendadak gue merasa Rheam lebih cakep dari biasanya. Bentuk wajahnya, warna bola matanya, dan kulit mulusnya tampak begitu sempurna jika diamati dari jarak dekat. Andai saja sebelum ini gue belum pernah ketemu Rheam dan hanya melihat Rheam dari jarak jauh tanpa benar-benar mengenal Rheam yang sesungguhnya, pastilah situasi saat ini amat sangat gue nantikan.
Rheam berdiri angkuh dihadapan gue. Mendadak gue tersadar dan bersiap melarikan diri.
‘Ngapain nih cowok ada disini. Ngapain juga gue harus ketemu dia tiap waktu.’ batin gue.
“Eh, elo mau kemana? Mau kabur lo?!” seru Rheam dari belakang.
Nah situ tau gue mau kabur, pake nanya.
“Siapa yang mau kabur, gue baru mau pergi ke..perpus.”
“Lo jelas mau kabur, perpus arahnya kan bukan disana.”
“Suka-suka gue dong mau lewat mana. Trus elo disini ngapain?” selidik gue.
Rheam jelas ada disini bukan karna nggak sengaja. Dia sudah ada disitu dan berdiri diam saat gue nabrak dia. Tampaknya dia memang sengaja nunggu disitu sampai gue lewat. Atau itu cuma perasaan gue?
“Terserah gue juga mo ngapain disini.” Balas Rheam kasar seperti biasa bila dia bicara ke gue.
Untungnya tak banyak orang disekitar kami. Koridor ini sempurna untuk Rheam, namun sayangnya bukan untuk gue.
“Ya udah kalo gitu, kita nggak ada urusan. Gue cabut dulu.”
Perfect, segera akhiri pembicaraan dan menjauh sejauh mungkin. Itu cara tepat untuk terhindar masalah dengan Rheam.
Mendadak tangan gue ditarik dari belakang. Tubuh gue mau tidak mau harus berbalik lagi.
“Siapa bilang kita nggak ada urusan?”
Sakit. Tangan gue sakit dicengkeram kuat oleh tangan kekar Rheam. Kesal rasanya tak bisa berkutik.
“Denger ya,” kata Rheam pelan namun tegas sambil lebih mendekatkan wajahnya ke muka gue. “Elo budak gue, gue berhak ngelakuin apa aja ke elo dan elo nggak boleh bantah. Sekarang lo ikut gue.”
Alih-alih marah atau merasa takut, muka gue justru memerah. Jarak diantara kami yang buat gue seperti ini. Gue ngerasa Rheam seakan sudah siap mencium gue dan pastinya hal itu merupakan hal mustahil terjadi.
Sekuat tenaga gue menepis pikiran itu dari benak dan berusaha meloloskan diri dari cengkraman Rheam. Akhirnya tangan gue berhasil lepas.
“Luna” Terdengar nama gue disebut dari belakang.
“Lyoid!?” seru gue setengah tak percaya. “Lo ada disini?” tanya gue sambil menghampirinya. Lyoid berdiri tak jauh dari tempat gue sehingga hanya butuh beberapa langkah untuk sampai dihadapannya.
“Iya,” jawab Lyoid singkat, nyaris tanpa ekspresi. Memang seperti itulah kebiasaannya.
“Umm.. kenapa lo ada disini?” lagi-lagi pertanyaan tolol. Ini koridor umum. Semua orang berhak lewat sini. Tak terkecuali Lyoid. Cuma kenapa bisa pas sekali waktunya, seakan Lyoid sengaja ngikutin gue untuk bisa bicara berhadapan seperti ini.
“Aku sengaja ingin bicara denganmu,” aku Lyoid.
Ups, dugaan gue nggak meleset.
“Ingin bicara sama gue?” gue mengulangi kata-katanya. Samar-samar rona merah mulai terbersit lagi di pipi.
“Iya, jika kamu ada waktu. Aku butuh bantuan sekali lagi.”
“Tentu saja gue ada waktu!” jawab gue bersemangat.
“Bagus lah.” balasnya sambil tersenyum. Waahh.. Lyoid tersenyum. Ini bukan  pertama kali gue melihatnya tersenyum. Sebelumnya gue pernah melihat pemandangan ajaib itu ketika sendirian bersamanya. Namun Lyoid tersenyum tetaplah sesuatu hal yang langka. Seakan hanya orang-orang istimewa saja yang berkesempatan menyaksikan pemandangan itu. Jadi gue termasuk orang istimewa? Mungkin saja.
“Kita pergi sekarang?” tawarnya.
Kata sepakat baru sampai di ujung lidah sebelum seseorang sudah lebih dulu merangkul pundak gue dari belakang. Mencengkeram gue erat dalam pelukannya sehingga membuat gue tersentak.
“Dia milik gue dan dia bakal pergi sama gue” Rheam yang sedari tadi terlupakan mulai bicara. Bodoh, kenapa gue bisa lupa ada Rheam? Dan kenapa juga dia ngucapin kata-kata itu dengan tegas seakan dia sedang marah pada Lyoid karna mainanya direbut olehnya. Dia memang terlihat kesal dan anehnya bersikap tanpa berusaha menutup-nutupi kedoknya seperti yang selama ini dia perlihatkan ke ortu atau ke orang lain.
Dan oh! Kata-katanya itu. Seperti seakan gue adalah benda miliknya dan dia berhak atas apapun dalam diri gue. Yang benar saja.
Tangan Rheam berada persis dibawah leher gue. Membuat gue sulit bernafas. Dia menawan gue dalam dekapannya dan seperti bernait tak kan melepaskannya hingga tujuannya tercapai. Gue memandang Lyoid dengan tatapan campuran antara takberdaya dan merasa bersalah. Namun yang gue lihat dari sorot mata Lyoid ialah hal yang sulit dipahami. Matanya lebih terfokus pada Rheam dan entah apa yang di pikirkannya. Ekspresinya tetap datar seperti biasa. Selama beberapa detik mereka saling berpandangan.
Entah apa pula yang dipikirkan oleh Rheam. Mungkin Rheam ingat kejadian di lapangan basket saat seseorang mematahkan karismanya ketika seorang siswa baru yang tak dikenal sebelumnya dengan mudahnya mencetak skor three point dari sudut lapangan. Dan dia ingat orang itu adalah Lyoid.
 Ini adalah saat-saat yang menengangkan. Rasanya gue sudah berdiri disini selama berjam-jam
Gue sedikit berharap Lyoid bakal nolongin gue lepas dari Rheam lalu membawa gue bersamanya. Seperti layaknya kesatria-kesatria dalam dongeng. Kesatria berkuda putih. Itu lah bayangan gue tentang Lyoid.
Beberapa detik rasanya seperti sejuta tahun dalam keheningan dan sesak nafas. Setelah menunggu lama, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Lyoid.
“Kalau begitu lain kali saja. Sampai jumpa.”
Dan dia pun menghilang ditikungan. Secepat kilat seakan dia tak pernah ada disini sebelumnya. Rasa kecewa membanjiri diri gue. Bukan itu yang gue harapkan. Walau gue sudah tahu kenyataan Lyoid akan ninggalin gue bukan hal yang mengherankan. Gue masih nggak bisa nebak sikap Lyoid semenjak pertama bertemu dengannya. Namun begitu, tak sulit menebak kalau dia bakal ninggalin gue disituasi ini.
“Napa lo bengong?” bentakan Rheam membawa gue kembali pada dunia nyata. Gue nggak langsung ngejawab. Alih-alih menjawab pertanyaannya, gue injek kaki Rheam dan berlari ninggalin dia. Rheam berteriak dari belakang, tapi gue nggak perduli. Gue pikir Rheam bakal ngejar gue. Namun setelah berlari cukup jauh dari nya, baru gue sadari Rheam nggak ngejar gue. Untung saja.
“Rheam sialan!” tak sadar gue menggumankan kata-kata itu cukup keras sambil menendang kursi yang berada persis di depan gue. Nggak keras-keras amat sih, tapi kaki yang terbungkus dibalik sepatu gueberdenyut-dengut sebagai responnya.
Gue mengamati kursi  malang yang teronggok di lorong itu. Ternyata gue sedang berada di depan gudang. Tanpa sadar gue telah berlari kesini.
“Jadi namanya Rheam?” suara familiar itu kembali terdengar. “Apa kau mengenalnya?”
Oh tidak. Jangan tanyakan itu! Jangan sampai rahasia gue terbongkar oleh siapa pun. Terutama pada cowok satu ini.
Aku menoleh kearahnya. Selalu saja perasaan deg-deg-kan muncul tiap kali berhadapan dengannya. Dia menegakkan tubuhnya dari posisi bersandar di dinding. Gue menyadari dia sudah ada disini sebelumnya. Mendadak gue jadi mikir Lyoid ada dimana-mana seperti halnya Rheam.
“Iya,” sahut gue pelan. Sial. Gue benci mesti ngaku.
 “Kamu punya hubungan dengannya?” suara Lyoid tetap tenang namun terdengar menyelidik.
Gue mohon jangan tanya-tanya lagi. Rheam itu musuh gue yang secara tak sengaja dinobatkan menjadi sodara gue oleh ikatan pernikahan ortu. Udah puas
“Iya, dia saudara tiri gue.” Akhirnya gue ngaku.
Harusnya gue nggak ngaku pada siapapun. Kecuali Luca dan Marin. Gue udah bertekat pada diri sendiri nggak akan ngaku ke orang lain Rheam adalah saudara tiri gue. No way. Never.
Dengan Lyoid semuanya berbeda. Mulut gue tak kuasa berbohong. Bodoh. Harusnya Lyoid jadi satu-satunya orang terakhir yang mengetahui rahasia itu. Gue malah bocorin ke dia. Gimana coba entar kalau dia nggak mau deket-deket gue lagi karna dia kira gue deket sama cowok lain? But eits eits eits… Lyoid cemburu ke gue yang notabene cuma cewek ke-ge-er-an yang pernah nolongin dia dan berbicara beberapa patah kata lebih banyak dari orang lain yang dikenalnya di sekolah? Dari mana ide gila itu bisa muncul?
“Menarik sekali” ucapnya. Setelah itu dia tak berkata apa-apa lagi. Susah menebak apa yang dipikiran Lyoid dari balik wajah tanpa ekspresinya itu.

Sabtu, 26 Mei 2012

kata mutiara

Bila kegagalan itu bagai hujan, dan keberhasilan bagaikan matahari, maka butuh keduanya untuk melihat pelangi.

Hidup itu maju kedepan! Bukan mundur ke belakang! Lupakan yg telah berlalu! Jadikan ia patokan untuk lebih baik dimasa depan.

Jadikanlah masa lalu sebagai pengalaman dan pelajaran, masa yang sedang berjalan isilah dengan amal dan perbuatan, dan masa depan janganlah terlalu diangan-angankan.

Berfikir sebelum berbuat adalah satu kebijaksanaan, berfikir setelah berbuat adalah satu kebodohan, sementara berbuat tanpa berfikir adalah seribu kebodohan.

Kejayaan adalah tangga bambu yang tidak dapat anda panjat dengan tangan yang masuk kedalam kantung celana.

Pandanglah orang yang di bawah kamu dan janganlah memandang kepada yang di atasmu, karena itu akan lebih layak bagimu untuk menyadari betapa beruntungnya dirimu.

KEPERCAYAAN itu seperti KEPERAWANAN, jangan berikan kepada sembarang orang. Sekali kita kehilangan, dia tidak bakal balik lagi. Hati-hati memberikan kepercayaan kepada orang lain

Bersedekahlah, agar harta tiada menipis, jadilah pemaaf, jika engkau ingin mulia, dan
Rendah hatilah, agar engkau tinggi derajatnya.

Sahabat sejati adalah mereka yang sanggup berada disisimu ketika kamu memerlukan sandaran, walaupun saat itu mereka lebih bisa berada di tempat lain yang lebih menyenangkan.

lebih baik wajah preman tapi hati beriman, daripada wajah sekuriti tapi hati hello kitty.

Menjadi sukses itu bukanlah suatu kewajiban, yang menjadi kewajiban adalah perjuangan kita untuk menjadi sukses.

sumber asli http://beritama.com/kata-mutiara/

PENGORBANAN




Kusambut bintang di gelapnya malam
Rembulan indah kian menawan
Menyapa hati yang kesepian
Lantasan cinta yang tak lagi bisa di harapkan

Keikhlasan sebuah lili yang menyala
Demi mendapatkan secercah cahayanya
Bagaikan hatiku yang telah ku korbankan
Untuk kebahagiaanmu bersamanya

Engkau kesejukan di pagi hari
Dan engkaulah kehangatan di kala malam
Mengertilah kasih …
Tanpamu … sungguh hidupku tiada berarti


Sumber asli : majalah access

Madrasah bukan second class






Musim penerimaan peserta didik baru, selalu di warnai dengan harap cemas oleh mereka yang hendak masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Baik dari yang SD ke tingkat SMP maupun dari SMP ke SMA.


Umumna baik anak maupun orang tua, selalu tergiur untuk masuk di sekolah yang bonafid (unggulan). Tentu saja, madrasah (sekolah berbasis agama) tidak masuk hitungan di sini. Madrasah masih di pahami sebagai ‘tempat pelarian’ ketika tidak di terima di sekolah negeri.

Pendek kata, madrasah seakan menjadi lembaga pendidikan kelas dua (second class) ang tidak di perhitungkan sama sekali. Padahal, banyak madrasah yang mampu bersaing dengan sekolah negeri dan memiliki prestasi gemilang, tanpa harus menyebutkan nama sekolah satu persatu.

Karenanya, pemahaman masyarakat bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan kelas dua, harus di luruskan. Madrasah, sebagaimana sekolah  negeri yang di anggap bonafid sekalipun, bisa bersaing, bahkan tak sedikitp yang bisa lebih baik.

Ini berarti, madrasah juga layak menjadi pilihan bagi anak untuk menentukan pilihan belajar ataupun pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya.

Dengan memasukkan anak di madrasah, orang tua justru merasa bangga, karena anak tidak hanya di ajari ilmu pengetahuan,  juga pendidikan agama dan etika, yang pada era global ini, semakin di abaikan. 


Sumber asli majalah Ma’arif

IBU



Ibu….
Kau selalu hadir di hidupku
Di saat aku menangis
Kau yang mengusap air mata ku..
Di saat aku sedih
Kau yang menghiburku…
Di saat aku tersenyum
Enkaulah yang membuat tersenyum…
Terimakaih Ibu…




Ibu…
Maafkan aku yang tak pernah mengerti keadaanmu…
Di saat engkau sakit, di saat engkau sedih
Aku tak bisa apa- apa
Tak bisa menghiburmu…
Aku selalu membuatmu kecewa…
Maafkan aku Ibu…



                                    OLEH: WIWID E.W

AYAH-BUNDAKU



Bunda ...
engkau adalah
rembulan yang menari
dalam dadaku
Ayah ...
engkau adalah
matahari yang menghangatkan
hatiku

Ayah.. Bunda..
kucintai kau berdua
seperti aku mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam taman-Nya yang terindah nanti



sumber asli http://cgvto.blogspot.com/2012/03/puisi-untuk-ayah-dan-bunda.html